Saturday, June 29, 2024

My Journey to Owning a Peaceful Oasis in the Heart of Jakarta

As I reflect on my life's milestones, one that stands out the most is the achievement of owning my own house. It's a dream that I've long cherished, and I'm thrilled to say that it has finally come to fruition.

My simple yet charming house is nestled in the bustling business district of Jakarta, right in the heart of the city center. While the surrounding area is teeming with the hustle and bustle of urban life, my home has become a true oasis of tranquility and serenity.

As I step through the door, I'm immediately enveloped in a sense of peace and calm. The carefully curated interiors, filled with natural light and soothing tones, create a welcoming atmosphere that instantly puts me at ease. It's a place where I can truly unwind and recharge, a sanctuary from the demands of the outside world.

One of the greatest joys of owning this home is the ability to enjoy the city's vibrant energy from the comfort of my own space. Being situated in the city center allows me to easily access the many amenities and attractions that Jakarta has to offer, while also providing a respite from the constant hum of activity.

Whether I'm entertaining guests, indulging in a quiet moment of reflection, or simply savoring a cup of coffee while gazing out the balcony, this house has become a true oasis for me. It's a place where I can truly be myself, surrounded by the comforts of my own space and the tranquility that I so deeply cherish.

As I look back on the journey that led me to this point, I'm filled with a deep sense of gratitude and accomplishment. Owning my own house has not only provided me with a physical space to call my own, but it has also become a symbol of the progress and growth I've experienced in my life. It's a testament to the power of perseverance, hard work, and the ability to turn one's dreams into a reality.



Monday, December 27, 2021

Saturday, June 27, 2009

Muntok, Kota Sejarah yang Terlupakan

Di bawah sinar gemerlap terang cuaca
Kenang-kenang membawa kemenangan
Bangka, Djokjakarta, Djakarta
Hidup Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika

PUISI berisi semangat meneruskan perjuangan itu terpahat pada lempeng besi. Di bagian atasnya tertulis "Kenang-kenang Menumbing". Di pojok kanan bawah lempeng berwarna hitam itu tertera tanda tangan penulisnya, Drs Moh Hatta. Hatta menuliskan kenangan tentang Menumbing sebagai bagian dari rasa terima kasihnya kepada masyarakat Bangka yang tak henti-hentinya menunjukkan dukungan kepada para pemimpin bangsa selama dalam pengasingan.

BUKU-buku sejarah yang diajarkan di sekolah hanya mencantumkan Bangka sebagai lokasi pengasingan Soekarno, Hatta, Agus Salim, Moh Roem, dan sejumlah tokoh perjuangan kemerdekaan lainnya yang diasingkan Belanda tahun 1949.

Namun, Kota Mentok sebagai lokasi pengasingan para tokoh itu sering luput dari perhatian. Bukit Menumbing, sekitar 10 kilometer dari Kota Mentok, merupakan salah satu lokasi pembuangan mereka. Di bukit yang berhawa sejuk itulah Bung Karno dan teman-temannya menghabiskan waktu mereka di sebuah tempat peristirahatan di bibir bukit.

Karena tidak tahan dengan hawa dingin, Bung Karno meminta dipindahkan ke daerah kota. Maka, Belanda kemudian menyiapkan rumah di Kelurahan Sungai Daeng di tengah Kota Mentok. Rumah tersebut kemudian dikenal sebagai Pesanggrahan Mentok.

Sampai hari ini, meskipun telah berubah menjadi sebuah hotel, pengelola Menumbing tetap merawat kamar yang dulu ditempati Soekarno sesuai aslinya. Di ruangan yang terbuka untuk umum itu pula semua dokumen berupa foto, surat-surat, dan lempengan prasasti dipajang di dinding ruangan.

Mentok, kota kecil yang damai di pantai barat Pulau Bangka, seolah telah ditakdirkan menjadi saksi dari berbagai episode penting dalam sejarah berbagai bangsa, bukan hanya sejarah perjalanan Indonesia. Inggris, Belanda, Jepang, hingga Australia pernah bersentuhan dengan Mentok.

Inggris pernah menguasai Mentok selama beberapa tahun sebelum kemudian membarterkannya kepada Pemerintah Belanda. Pesawat-pesawat tempur Jepang yang dipakai untuk menyerang Pulau Jawa disiagakan di lapangan terbang Mentok.

Sementara itu, para perawat dari Australia yang terjun ke medan Perang Dunia II harus mengalami kenyataan pahit ketika kapal yang mereka tumpangi digempur habis-habisan oleh Jepang di Pantai Radji, perairan Mentok.

Bukti sejarah yang menguatkan jejak kejadian itu masih dengan mudah ditemui di setiap sudut kecamatan seluas 14.862 kilometer persegi tersebut. "Sampai lima tahun lalu, keluarga perawat yang menjadi korban peristiwa serangan itu masih berkunjung ke monumen peringatan yang mereka bangun," tutur Suparno, petugas jaga di Mercusuar Tanjung Kelian.

Pelabuhan Muntok, yang diperkirakan dibangun saat Pemerintah Inggris berkuasa pada kurun waktu 1812-1816, sampai saat ini masih menjadi gerbang laut utama masuk Bangka. Itu, misalnya, terlihat dari bangunan-bangunan bergaya kolonial yang dibangun pada masa pemerintahan Belanda dan rongsokan kapal perang di perairan pantai Tanjung Kelian.

Hal-hal di atas adalah beberapa contoh dari peninggalan "peradaban" bangsa-bangsa, yang suatu masa pernah mewarnai ibu kota Kabupaten Bangka Barat tersebut.

Namun, hingga hari ini, sulit mencari literatur yang menyodorkan bukti-bukti autentik awal pembentukan kota tua bernama antik ini. Masyarakat hanya mengandalkan kisah dari mulut ke mulut.

R Affan, satu dari sedikit sesepuh Mentok yang masih tersisa, menuturkan bahwa berdirinya Mentok jauh dari pertimbangan strategis maupun niaga. Menurut Affan, awalnya Mentok dibangun untuk kepentingan permukiman yang tidak terlepas dari sejarah Palembang.

Saat Pangeran Jayawikrama naik takhta sebagai Sultan Mahmud Badaruddin I (SMB I), keluarga Kerajaan Palembang kurang berkenan dengan kehadiran istri pertama Sultan bernama Zamnah yang berasal dari Johor. Istrinya kemudian meminta untuk dibolehkan berdomisili di Bangka.

Dari Tanjung Sungsang, dataran di muara Sungai Musi di Pulau Sumatera, itulah istrinya melihat kawasan di seberang, Pulau Bangka, yang dianggapnya cocok untuk bermukim.

"Amun tok, kalau itu tempatnya sesuailah. Kurang lebih begitulah kata sang putri," ujar Affan. Kata-kata itu kemudian dijadikan nama kota itu. Kira-kira, begitulah asal-usul nama Muntok yang kemudian dilafalkan masyarakat setempat menjadi Mentok.

Sekitar tahun 1710, Sultan memberikan wewenang kepada keluarga istrinya untuk mengelola seluruh Bangka. Sultan juga memberi gelar kebangsawanan Abang untuk laki-laki dan Yang untuk perempuan.

Cikal bakal keluarga yang menempati Mentok berasal dari keturunan keluarga mertua SMB I. Mertua SMB I, yang sering disapa dengan sebutan Datuk Dalam, aslinya adalah seorang Tionghoa bernama Lim Tau Kiang yang sudah lama ikut mengabdi pada Sultan Johor.

Secara sosiokultural, Datuk Dalam dan keturunannya menganggap diri mereka sebagai orang Melayu, bukan Cina. Mereka sangat taat menjalankan syariat Islam, tidak lagi melakukan ritual tradisional seperti melakukan upacara menghormati arwah leluhur.

Sikap ini berbeda dengan orang-orang Cina yang datang belakangan ke Bangka untuk ikut bekerja di tambang-tambang timah. "Mereka menunjukkan sikap eksklusif, tetapi harus diakui sangat ulet, sehingga tak heran ketika usaha pertambangan dikuasai Belanda, kelompok ini sangat disenangi karena giatnya bekerja," tutur Affan.

Eksplorasi timah pertama kali dilakukan oleh rombongan istri SMB I. Konon, para pengawal dan pembantu yang mengiringi sang putri dari Johor itu sudah terbiasa dengan aktivitas pertambangan timah.

Orang-orang Tionghoa dimasukkan ke dalam struktur pengusahaan timah sebagai agen. Kemudian, Belanda mengambil alih pengusahaan timah dari Kesultanan Palembang dan memonopoli semua pertambangan timah.

Sebagai kota pusat pertambangan timah sekaligus pusat keresidenan, Mentok pun berkembang menjadi kota modern. Perkembangan kota menjadi sangat khas kolonial, antara lain ditandai dengan pembagian perkampungan. Tahun 1850, seorang Belanda bernama Kolonel de Lange memuji perkampungan Cina di Mentok sebagai yang terapik di seluruh Hindia.

Salah satu peninggalan perkampungan Cina yang masih bisa dinikmati sampai sekarang adalah rumah Mayor Cung, kepala perkampungan Cina pada masa itu, tak jauh dari pintu Pelabuhan Muntok.

Pada tahun 1811, Bangka jatuh ke tangan Inggris dan namanya sempat diubah menjadi Pulau Duke of York. Sementara itu, Mentok juga sempat berganti nama menjadi Minto, mengikuti nama raja muda Inggris yang berkedudukan di Calcutta saat itu, Lord Minto. Tahun 1816, Bangka kembali berpindah tangan ke Belanda sesuai dengan Traktat London.

Keberadaan Mentok terus meredup ketika Belanda memindahkan pusat pengelolaan timah dan pemerintahan ke Pangkal Pinang, sekitar 150 kilometer dari Mentok. (Doty Damayanti)

Dikutip dari KOMPAS tahun 2003

Muntok Menuju Warisan Wisata Dunia

MUNTOK, BANGKA POS -- Dalam rangka menjajaki kemungkinan Kota Muntok masuk dalam warisan Wisata Dunia (World Herritage), tim Balai Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) melakukan lawatan ke sejumlah tempat-tempat bersejarah di Kota Muntok, Minggu (8/3). Kedatangan tim guna mencari data serta menganalisa untuk kemudian digodok di tingkat pusat.

Tim BPPI didampingi sejumlah pejabat instansi terkait di lingkungan Pemkab Bangka Barat mengunjungi beberapa tempat sejarah di Muntok, diantaranya Gedung BTW, Rumah Residen dan Pesanggrahan Wisma Ranggam, Batu Balai, Menumbing, Perkuburan Tangga Seribu, pasar/pertokoan, kawasan pelabuhan, Rumah Mayor, Masjid Jamik, Kelenteng serta sejumlah perkampungan yang banyak menyimpan sejarah di Muntok.

Malamnya di Gedung OR Pemkab Bangka Barat, tim kemudian melakukan audiensi dengan Bupati Bangka Barat, H Parhan Ali dihadiri sejumlah keluarga saksi sejarah Muntok, tokoh masyarakat, serta pejabat di lingkungan terkait.

Perwakilan BPPI, Catrini dalam paparannya mengatakan BPPI merupakan suatu lembaga yang dibentuk oleh Jaringan Pusaka Indonesia dengan perwakilan di dalamnya terdiri dari, wakil perguruan tinggi, kelompok/individu yang terkait

menyiapkan masukan untuk kebijakan strategis, program, panduan dan mekanisme pelestarian pusaka Indonesia,” kata Catrini.

Sementara Bondan Prakoso, yang juga perwakilan BPPI mengatakan setelah melihat dari sejemlah lawatan, Kota Muntok memiliki kekayaan sejarah lebih banyak dibanding beberapa daerah seperti Malaka yang pernah ia kunjungi. Termasuk wisata kuliner yang berpotensi untuk dikembangkan.

“Muntok dikenal sebagai Kota Timah, tapi kenapa timah tidak dijadikan wisata yang bisa dikunjungi. Seperti bekerjasama dengan PT Timah, orang mungkin ingin melihat kapal keruk itu seperti apa, proses peleburan timah, smelter.

Semua ini bisa dikemas dengan baik karena yang namanya pemasaran itu tergantung kemasannya,” ujar presenter acara Wisata Kuliner salah satu program acara televisi swasta ini.

Kawasan Cagar Budaya


Sementara Bupati Bangka Barat H Parhan Ali mengatakan sebagai kawasan cagar budaya, Muntok dalam sejarahnya memiliki tiga kebudayaan yakni Melayu, Eropa dan Cina.

Beberapa warisan sejarah yang bisa dijumpai saat ini kata Bupati, seperti Pesanggrahan Gunung Menumbing, Masjid Jamik yang berdampingan dengan Kelenteng yang dibangun sekitar tahun 1800-an, serta rumah Mayor dengan terowongannya menuju pantai.

“Termasuk bekas peninggalan zaman kesultanan dan kerajaan,” ujarnya.
Didampingi oleh Kepala Dinas Perhubungan dan Pariwisata yang juga mantan Kepala Bappeda Bangka Barat, Amran Muhi, Bupati Bangka Barat menyambut baik kedatangan tim BPPI dalam rangka meneliti untuk kajian sebagai usulan Kota Muntok masuk dalam wisata dunia (World Herritage).

Sedangkan Syarifudin Isa, keluarga dari saksi sejarah Muntok mengatakan, dilihat dari sejarahnya hampir separuh negara belahan dunia sudah pernah menduduki Muntok.

Mulai dari Inggris, Belanda, hingga Jepang. Hal ini bisa dilihat dari bukti-bukti peninggalan sejarah yang masih ada.

“Memasukan Muntok sebagai World Herritage saya pikir ini sangat relevan,” ujar Syarifudin

Saturday, May 16, 2009

The Blessing of Goodwill

The Blessing of Goodwill

Don't walk in front of me, I may not follow.
Don't walk behind me, I may not lead.
Just walk beside me and be my friend.-- Albert Camus

These are my thoughts tonight. As I consider those I know in my life, I am simply filled with appreciation and happiness that I wanted to share this through my writings.

Tonight I find myself particularly contemplating the wondrous miracles in my life. What some would call synchronicity, I give all recognition to God for. I believe the meaningful experiences and meeting of people whom have meant much to me are no accidental coincidences. I believe it is evidence of the Holy Spirit at work. I am abundantly blessed; for this, that I am filled with gratitude and joy!

For me, friendship has been a wonderful blessing. To have even one with whom I can share ideas, thoughts, and concerns; to have someone willing to listen, and to advise if I seek; to have someone with whom I can just be myself; and to have someone who cares about my well being and happiness.

It is just amazing to look back, in retrospect, to see how all things have worked together for my good. In ways I could never have anticipated or planned, beautiful things have occurred finally. Meeting those of like mind and heart who have become friends, who by their very nature and work inspire me has been such a deep blessing in my life resulting in my growth intellectually, emotionally and most importantly, spiritually and, I, with a willingness and deep desire to be a blessing to others being given opportunity to share what I have learned through such friendships.

Every day, during my prayer time, I express my willingness that I, too, will express God’s love in all that I do, my words and deeds, to all I encounter. As I seek to learn and grow, I seek to share. I think then of certain individuals, such as my friends whom I most treasure, and pray not only for their abundant blessings and protection but also recognize the incredible blessing they have been in my life and express that gratitude to God for bringing them into my life.

For all of this may God be praised!

Francis Chung

Saturday, April 25, 2009

Mengucap Syukur Atas Terkabulnya Do'a Novena Tiga Kali Salam Maria

Mengucap Syukur sedalam dalam nya atas terkabulnya permohona doa Tiga Kali Salam Maria (doa yang ke 5 kali) pada tanggal 24 April 2009.

Doa melalui pengantara Bunda Maria

Puji dan syukur ke hadirat Allah Bapa yang maha tinggi, bersama dengan Tuhan Yesus Kristus.

Hanya dalam Kristus,
Francis Chung