Saturday, June 27, 2009

Muntok, Kota Sejarah yang Terlupakan

Di bawah sinar gemerlap terang cuaca
Kenang-kenang membawa kemenangan
Bangka, Djokjakarta, Djakarta
Hidup Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika

PUISI berisi semangat meneruskan perjuangan itu terpahat pada lempeng besi. Di bagian atasnya tertulis "Kenang-kenang Menumbing". Di pojok kanan bawah lempeng berwarna hitam itu tertera tanda tangan penulisnya, Drs Moh Hatta. Hatta menuliskan kenangan tentang Menumbing sebagai bagian dari rasa terima kasihnya kepada masyarakat Bangka yang tak henti-hentinya menunjukkan dukungan kepada para pemimpin bangsa selama dalam pengasingan.

BUKU-buku sejarah yang diajarkan di sekolah hanya mencantumkan Bangka sebagai lokasi pengasingan Soekarno, Hatta, Agus Salim, Moh Roem, dan sejumlah tokoh perjuangan kemerdekaan lainnya yang diasingkan Belanda tahun 1949.

Namun, Kota Mentok sebagai lokasi pengasingan para tokoh itu sering luput dari perhatian. Bukit Menumbing, sekitar 10 kilometer dari Kota Mentok, merupakan salah satu lokasi pembuangan mereka. Di bukit yang berhawa sejuk itulah Bung Karno dan teman-temannya menghabiskan waktu mereka di sebuah tempat peristirahatan di bibir bukit.

Karena tidak tahan dengan hawa dingin, Bung Karno meminta dipindahkan ke daerah kota. Maka, Belanda kemudian menyiapkan rumah di Kelurahan Sungai Daeng di tengah Kota Mentok. Rumah tersebut kemudian dikenal sebagai Pesanggrahan Mentok.

Sampai hari ini, meskipun telah berubah menjadi sebuah hotel, pengelola Menumbing tetap merawat kamar yang dulu ditempati Soekarno sesuai aslinya. Di ruangan yang terbuka untuk umum itu pula semua dokumen berupa foto, surat-surat, dan lempengan prasasti dipajang di dinding ruangan.

Mentok, kota kecil yang damai di pantai barat Pulau Bangka, seolah telah ditakdirkan menjadi saksi dari berbagai episode penting dalam sejarah berbagai bangsa, bukan hanya sejarah perjalanan Indonesia. Inggris, Belanda, Jepang, hingga Australia pernah bersentuhan dengan Mentok.

Inggris pernah menguasai Mentok selama beberapa tahun sebelum kemudian membarterkannya kepada Pemerintah Belanda. Pesawat-pesawat tempur Jepang yang dipakai untuk menyerang Pulau Jawa disiagakan di lapangan terbang Mentok.

Sementara itu, para perawat dari Australia yang terjun ke medan Perang Dunia II harus mengalami kenyataan pahit ketika kapal yang mereka tumpangi digempur habis-habisan oleh Jepang di Pantai Radji, perairan Mentok.

Bukti sejarah yang menguatkan jejak kejadian itu masih dengan mudah ditemui di setiap sudut kecamatan seluas 14.862 kilometer persegi tersebut. "Sampai lima tahun lalu, keluarga perawat yang menjadi korban peristiwa serangan itu masih berkunjung ke monumen peringatan yang mereka bangun," tutur Suparno, petugas jaga di Mercusuar Tanjung Kelian.

Pelabuhan Muntok, yang diperkirakan dibangun saat Pemerintah Inggris berkuasa pada kurun waktu 1812-1816, sampai saat ini masih menjadi gerbang laut utama masuk Bangka. Itu, misalnya, terlihat dari bangunan-bangunan bergaya kolonial yang dibangun pada masa pemerintahan Belanda dan rongsokan kapal perang di perairan pantai Tanjung Kelian.

Hal-hal di atas adalah beberapa contoh dari peninggalan "peradaban" bangsa-bangsa, yang suatu masa pernah mewarnai ibu kota Kabupaten Bangka Barat tersebut.

Namun, hingga hari ini, sulit mencari literatur yang menyodorkan bukti-bukti autentik awal pembentukan kota tua bernama antik ini. Masyarakat hanya mengandalkan kisah dari mulut ke mulut.

R Affan, satu dari sedikit sesepuh Mentok yang masih tersisa, menuturkan bahwa berdirinya Mentok jauh dari pertimbangan strategis maupun niaga. Menurut Affan, awalnya Mentok dibangun untuk kepentingan permukiman yang tidak terlepas dari sejarah Palembang.

Saat Pangeran Jayawikrama naik takhta sebagai Sultan Mahmud Badaruddin I (SMB I), keluarga Kerajaan Palembang kurang berkenan dengan kehadiran istri pertama Sultan bernama Zamnah yang berasal dari Johor. Istrinya kemudian meminta untuk dibolehkan berdomisili di Bangka.

Dari Tanjung Sungsang, dataran di muara Sungai Musi di Pulau Sumatera, itulah istrinya melihat kawasan di seberang, Pulau Bangka, yang dianggapnya cocok untuk bermukim.

"Amun tok, kalau itu tempatnya sesuailah. Kurang lebih begitulah kata sang putri," ujar Affan. Kata-kata itu kemudian dijadikan nama kota itu. Kira-kira, begitulah asal-usul nama Muntok yang kemudian dilafalkan masyarakat setempat menjadi Mentok.

Sekitar tahun 1710, Sultan memberikan wewenang kepada keluarga istrinya untuk mengelola seluruh Bangka. Sultan juga memberi gelar kebangsawanan Abang untuk laki-laki dan Yang untuk perempuan.

Cikal bakal keluarga yang menempati Mentok berasal dari keturunan keluarga mertua SMB I. Mertua SMB I, yang sering disapa dengan sebutan Datuk Dalam, aslinya adalah seorang Tionghoa bernama Lim Tau Kiang yang sudah lama ikut mengabdi pada Sultan Johor.

Secara sosiokultural, Datuk Dalam dan keturunannya menganggap diri mereka sebagai orang Melayu, bukan Cina. Mereka sangat taat menjalankan syariat Islam, tidak lagi melakukan ritual tradisional seperti melakukan upacara menghormati arwah leluhur.

Sikap ini berbeda dengan orang-orang Cina yang datang belakangan ke Bangka untuk ikut bekerja di tambang-tambang timah. "Mereka menunjukkan sikap eksklusif, tetapi harus diakui sangat ulet, sehingga tak heran ketika usaha pertambangan dikuasai Belanda, kelompok ini sangat disenangi karena giatnya bekerja," tutur Affan.

Eksplorasi timah pertama kali dilakukan oleh rombongan istri SMB I. Konon, para pengawal dan pembantu yang mengiringi sang putri dari Johor itu sudah terbiasa dengan aktivitas pertambangan timah.

Orang-orang Tionghoa dimasukkan ke dalam struktur pengusahaan timah sebagai agen. Kemudian, Belanda mengambil alih pengusahaan timah dari Kesultanan Palembang dan memonopoli semua pertambangan timah.

Sebagai kota pusat pertambangan timah sekaligus pusat keresidenan, Mentok pun berkembang menjadi kota modern. Perkembangan kota menjadi sangat khas kolonial, antara lain ditandai dengan pembagian perkampungan. Tahun 1850, seorang Belanda bernama Kolonel de Lange memuji perkampungan Cina di Mentok sebagai yang terapik di seluruh Hindia.

Salah satu peninggalan perkampungan Cina yang masih bisa dinikmati sampai sekarang adalah rumah Mayor Cung, kepala perkampungan Cina pada masa itu, tak jauh dari pintu Pelabuhan Muntok.

Pada tahun 1811, Bangka jatuh ke tangan Inggris dan namanya sempat diubah menjadi Pulau Duke of York. Sementara itu, Mentok juga sempat berganti nama menjadi Minto, mengikuti nama raja muda Inggris yang berkedudukan di Calcutta saat itu, Lord Minto. Tahun 1816, Bangka kembali berpindah tangan ke Belanda sesuai dengan Traktat London.

Keberadaan Mentok terus meredup ketika Belanda memindahkan pusat pengelolaan timah dan pemerintahan ke Pangkal Pinang, sekitar 150 kilometer dari Mentok. (Doty Damayanti)

Dikutip dari KOMPAS tahun 2003

No comments: